Kisah Sunan Kalijaga
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (“Petruk Jadi Raja”). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.
Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo
adalah seorang tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan Muslim di Pulau
Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi
Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak.Masa hidup Sunan Kalijaga
diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami
masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak,
Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir
pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan
Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung
Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang
merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan
Kalijaga.Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama
Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung
Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain
Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.
Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari
Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia
sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.Mengenai asal usulnya,
ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa ia juga masih keturunan
Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli. Van Den Berg
menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya
sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Sementara itu
menurut Babad Tuban menyatakan bahwa Aria Teja alias ‘Abdul Rahman
berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini
putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta.
Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu
dari peguasa Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said
adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf
membenarkan bahwa Aria Teja I (‘Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan
Ibnu Abbas, paman Muhammad. Sunan Kalijaga mempunyai tiga anak salah
satunya adalah Umar Said atau Sunan Muria.Dalam satu riwayat, Sunan
Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan
mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi
Sofiah. Maulana Ishak memiliki anak bernama Sunan Giri dan Dewi Saroh.
Mereka adalah kakak beradik.
Menurut cerita, Sebelum menjadi Walisongo, Raden Said adalah seorang
perampok yang selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil
Bumi di kerajaannya, merampok orang-orang yang kaya. Hasil curiannya,
dan rampokanya itu akan ia bagikan kepada orang-orang yang miskin. Suatu
hari, Saat Raden Said berada di hutan, ia melihat seseorang kakek tua
yang bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu
dilihat seperti tongkat emas, ia merampas tongkat itu. Katanya, hasil
rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin. Tetapi, Sang
Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu. Ia menasihati Raden Said bahwa
Allah S.W.T tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu, Sunan Bonang
menunjukan pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin
mendapatkan harta tanpa berusaha, maka ambillah buah aren emas yang
ditunjukkan oleh Sunan Bonang. Karena itu, Raden Said ingin menjadi
murid Sunan Bonang. Raden Said lalu menyusul Sunan Bonang ke Sungai.
Raden Said berkata bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu
menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang
ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh beranjak dari tempat
tersebut sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan
perintah tersebut. Karena itu,ia menjadi tertidur dalam waktu lama.
Karena lamanya ia tertidur, tanpa disadari akar dan rerumputan telah
menutupi dirinya. Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang datang dan
membangunkan Raden Said. Karena ia telah menjaga tongkatnya yang
ditanjapkan ke sungai, maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga.
Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan diberi pelajaran agama oleh Sunan
Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan
Kalijaga.Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (“Petruk Jadi Raja”). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar