Kisah Sunan Bonang
Kisah Sunan Bonang
Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana
Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila.
Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang diduga
adalah Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi
Hoo alias Sunan Ampel.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya
berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di
kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat dia
meninggal, kabar wafatnya dia sampai pada seorang muridnya yang berasal
dari Madura. Sang murid sangat mengagumi dia sampai ingin membawa
jenazah dia ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan
hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian dia. Saat melewati
Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang
mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang.
Mereka memperebutkannya.
Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang disebut Sayyid Kramat merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad.
Terdapat silsilah yang menghubungkan Sunan Bonang dan Nabi Muhammad:f
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) bin
Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
Maulana Malik Ibrahim bin
Syekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan) bin
Ahmad Jalaludin Khan bin
Abdullah Khan bin
Abdul Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin
Alawi Ammil Faqih (dari Hadramaut) bin
Muhammad Sohib Mirbath (dari Hadramaut) bin
Ali Kholi’ Qosam bin
Alawi Ats-Tsani bin
Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
Alawi Awwal bin
Ubaidullah bin
Muhammad Syahril
Ali Zainal ‘Abidin bin
Hussain bin
Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad SAW)
Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang
tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya
Abu Sa’id Al Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tamba Ati (dari
bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan
orang.
Ada pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu
diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda
seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang.
Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan
karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.
Dia juga menulis sebuah kitab yang berisikan tentang Ilmu Tasawwuf
berjudul Tanbihul Ghofilin. Kitab setebal 234 hlmn ini sudah sangat
populer dikalangan para santri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan
estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator
gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang.
Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan
pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah
salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai
membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan
tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia
mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian dia
kombinasi dengan kesimbangan pernapasan yang disebut dengan rahasia
Alif Lam Mim ( ا ل م ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan
Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Dia ambil
dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari
huruf Alif dan diakhiri huruf Ya’. Ia menciptakan Gerakan fisik dari
nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam
dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak
murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya
setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi
Al-Qur’an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah
mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Salat dan dzikir.
Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih
dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan
nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia
Sejarah keturunan Tionghoa di Asia Tenggara yang tak dikenal chalayak ramai
Sdr-sdr sekalian,
Dibawah ini saya sampaikan serial berjudul “Sejarah ket. Tionghoa di
Asia Tenggara yang tak dikenal khalayak ramai”, yang dimuat oleh
Indonesia Media di California dalam 5(lima) bagian pada tahun 2003.
Peranan penting dari pihak orang Tionghoa, bila diketahui umum, akan
meninggihkan pandangan terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia. Image
yang baik dapat mencegah kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.
Sejarah keturunan Tionghoa di Asia Tenggara yang tak dikenal chalayak ramai.
Kutipan dari buku “The 6th overseas Chinese state“, Nanyang Huaren,
CSEAS, J.C.Univ. of N-Queensland, Australia 1990, penyunting Sie Hok
Tjwan tentang:
1) Palembang
2) Demak, Banten, Cirebon
3) Kalimantan Barat (babak 7 halaman 65 – 99).
Palembang (Ku-kang) Pada tahun 1275 Kertanagara Raja Singasari
terachir di Jawa Timur mengirim ekspedisi militer ke Dharmasraya
(Sriwijaya, Sumatera Selatan dengan ibu kota Palembang). Catatan thn
1286 menunjukkan serangan tsb berhasil dan Sriwijaya direbut. Namun thn.
1292 Kertanagara sendiri terbunuh oleh pemberontakan Kediri dan
Singasari jatuh. Tanah bekas Sriwijaya terlantar, keadaan kacau.
O.W. Wolters menulis dalam buku “The fall of Srivijaya in Malay
history” hal. 73, bahwa di Palembang tidak ada penguasa kepada siapa
dapat ditujukan peringatan kaisar Tiongkok T’ai-tsu. Tindakan kaum
pedagang Tionghoa mencerminkan bagaimana besarnya kekacauan pada waktu
itu. Mereka telah memilih pimpinan sendiri. Jalan yang ditempuh
Palembang dengan pemerintah Tionghoa perantauannya (with its overseas
Chinese government) untuk memulihkan keadaan adalah sesuai dengan
pandangan bahwa orang Tionghoa telah menyaksikan suatu keadaan yang tak
dapat dibiarkan dan mereka bertekad tidak boleh berlarut-larut.
Victor Purcell dalam buku “The Chinese in Malaya” hal.14 menyatakan
setelah kerajaan Sriwijaya ambruk, Palembang telah dikuasai orang-orang
Tionghoa selama 200 (duaratus) tahun. Ketika kejayaan Sriwijaya surut
sekian ribu orang Tionghoa dari Fukien dan Canton yang telah menetap
disana telah memerintah diri sendiri.
Lukisan tersebut diatas selaras dengan catatan Dinasty Ming Tiongkok,
bahwa orang Jawa tak mampu menguasai seluruh negara sesudah San-bo-tsai
(Sriwijaya) ditaklukkan. Karena itu, demikian Ming Dynasty records tsb,
orang Tionghoa setempat telah berdiri sendiri. Seorang dari Nan-Hai
(Namhoi) Canton bernama Liang Tau-ming telah terpilih sebagai pemimpin.
Dia menguasai sebagian negara dan puteranya ikut dengan utusan kaisar
kembali ke Tiongkok. Pada tahun 1405 kaisar mengutus seorang kurir dari
desa asalnya Liang Tau-ming dengan perintah agar Liang Tau-ming
menghadap ke istana. Liang Tau-ming bersama kawan seperjuangannya Cheng
Po-k’o berangkat membawak produk2 setempat sebagai upeti. Mereka pulang
dengan membawak hadiah yang berlimpah2. Tahun 1407 atau shortly after
that Laksamana Islam Cheng Ho mendirikan masyarakat Islam Tionghoa di
Palembang. Tahun 1415 Palembang oleh kaisar Tiongkok diakui sebagai
berada dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Pendapat Purcell, bahwa
Palembang dikuasai orang2 Tionghoa selama 200 tahun mungkin karena pihak
Jawa secara de facto belum dapat mengatasi keadaan dengan betul,
mungkin juga karena seperti tersebut dibawah ini penguasa yang dikirim
dari Jawa adalah orang Tionghoa.
Disini kami menjumpai buku Prof. Dr. Slamet Muljana “Runtuhnja
keradjaan Hindu Djawa dan timbulnja negara2 Islam di Nusantara”. Prof.
Muljana bukan etnik Tionghoa seperti didesas-desuskan, melainkan seorang
Priayi bekas anggauta Tentara Peladjar. Buku ini thn 1971 dilarang oleh
Kejaksaan Agung. Meskipun sumber keterangan dari tulisan Ir. Mangaradja
Onggang Parlindungan “Tuanku Rao” yang tersebut didalamnya tak dapat
ditrasir, Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th.G.Th. Pigeaud dengan panjang
lebar telah memperbincangkan serta mengkomentari data Parlindungen
sebagai “The Malay Annals of Semarang and Cerbon” di dalam buku “Chinese
Muslims in Java in the 15th and 16th centuries”. Buku Prof. Muljana
sendiri mengandung cukup banyak data lain yang sangat menarik perhatian.
Kerajaan Majapahit juga berdiri kurang lebih 200 (duaratus) tahun.
Menurut Prof. Muljana dari 1294 hingga 1478 dan sedari itu menjadi
sub-state dibawah para penguasa Kerajaan Islam Demak hingga Majapahit
tiada lagi, yaitu thn.1527. Prof. Hoesein Djajadiningrat telah
menentukan kehancuran Majapahit sekitar thn. 1518. Malay Annals yang
masih diperselisihkan itu menyebutkan perkembangan sbb.: thn. 1443 Swan
Leong (Arya Damar) putera alm. Raja Majapahit dengan seorang wanita
Tionghoa, oleh Haji Gan Eng Chou (Arya Teja) telah ditunjuk sebagai
kapten Muslimin Tionghoa di Palembang sekalian menjadi penguasa atas
nama saudara perempuan-tirinya, yaitu Ratu Suhita dari Majapahit. Gan
Eng Chou adalah kapten Tionghoa di Tuban, Jawa Timur. Dia oleh Ratu
telah dianugerahi gelar Arya sebagai bukti penghargaan terhadap
jasa2nya. Prof. Muljana berkesimpulan hal tsb menunjukkan suatu sikap
yang sangat baik dari pihak keluarga Raja terhadap orang Tionghoa.
Mengenai pemerintahan Tionghoa Perantauan di Palembang, Amen Budiman
juga menunjuk pada dokumen2 sejarah Dinasti Ryukyu dan pada reset yang
dilakukan oleh Tan Yeok Seong, seorang sinologist yang berpangkal di
South Sea Society Singapura. Hingga belum lama ini Palembang terkenal
sebagai tempat yang tidak anti-Tionghoa.
Kertanagara, raja Singasari yang terachir, pada thn.1289 telah
menantang wibawa kaisar Monggol Kublai Khan, yang masa itu berkuasa di
Tiongkok. Dia memulangkan utusan kaisar dengan muka yang dilukai. Kublai
Khan mengirim tentaranya ke Jawa. Tetapi sebelum kedatangan tentara tsb
Kertanagara pada thn 1292 telah tewas disebabkan pemberontakan Kediri.
Singasari jatuh. Ketika tentara Kublai Khan tiba, Raden Wijaya,
kemenakan dan menantunya Kertanagara, menyerahkan diri pada pimpinan
tentara Monggol dan menyatakan, bahwa Raja Kediri Jayakatwang telah
menggantikan Kertanagara. Raden Wijaya berhasil membujuk tentara Kublai
Khan untuk menjatuhkan Daha (Kediri). Setelah tentara Kediri hancur,
Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Kublai Khan. Dia minta diberi
200 pengawal Monggol/Tionghoa yang tak bersenjata untuk kepergiannya ke
kota Majapahit dimana dia akan menyerah dengan resmi pada wakil2 Kublai
Khan. Ditengah perjalanan para pengawal dibantai dan sebagian lain
tentara Monggol yang tidak menduganya dapat dikepung. Siasat Raden
Wijaya menghasilkan pihak Monggol kehilangan 3000 orang dan terpaksa
meninggalkan pulau Jawa tanpa hadiah2 yang dijanjikan. Tahun 1293-94
Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit di Jawa Timur.
Kublai Khan, cucunya Jengiz Khan, meninggal 18 Pebruari 1294. Antara
thn. 1325 dan 1375 hubungan Majapahit dengan Tiongkok telah membaik.
Sang Adityawarman yang dibesarkan di Majapahit dan yang kemudian menjadi
Raja Sumatera-Barat telah mengunjungi istana kaisar Tiongkok sebagai
menteri dan utusan Majapahit pada thn. 1325 dan sekali lagi pada thn
1332.
Sifat pemancaran kejayaan Tiongkok jaman lampau berbeda bumi sama
langit dengan sifat kolonialis Eropa. Cuplikan-cuplikan berikut adalah
hasil penyelidikan beberapa pakar sejarah yang menggambarkan perbedaan
tsb.
O.W. Wolters dalam bukunya “The fall of Srivijaya in Malay history” hal. 50, 52:
Pada tg. 30 oktober 1371 kaisar T’ai-tsu mengeluarkan pengumuman
dengan petunjuk untuk para pejabatnya: ….. menguasai tanah yang terlalu
besar tidak mendatangkan ketenteraman. Bila rakyat diharuskan bekerja
terlalu berat, keadaan itu menjadi sumber kekacauan ….. pernyataan2
T’ai-tsu kepada penguasa2 asing mengandung banyak saran kebijaksanaan.
Daripada menganjurkan mereka untuk berdagang dengan Tiongkok, dia
menginginkan mereka berkuasa dengan baik, memelihara hubungan mesra
dengan negara tetangganya dan saling mengindahkan tapal-batas
masing2…..Jika T’ai-tsu curiga ada penguasa asing berakal bulus serta
mengirim utusan dengan maksud yang tidak jujur, dia lebih baik menolak
upeti mereka. Misalnya, upeti perampas2 kuasa (usurpers) tidak dapat
diterima olehnya (were unacceptable to him).
Dr. John Crawfurd (bukan Crawford) mengenai pembayaran2 upeti kepada kaisar Tiongkok:
Hubungan Tiongkok-Siam jaman lampau mengandung unsur yang di satu
pihak berdasarkan “vanity” (pengumpakan diri) dan di lain pihak berdasar
pada “rapacity” (nafsu menggarong, lebih jelek daripada
serakah/greedy). Raja Siam mengaku dirinya sebagai pembayar upeti
terhadap kaisar Tiongkok bukan karena terpaksa dan bukan karena berada
dibawah kekuasaan kaisar, melainkan demi menghindarkan pembayaran bea
bagi kapal2 yang membawak utusan2nya ke Tiongkok. Para utusan tsb
mempersembahkan bunga dari mas sebagai tanda upeti, tetapi menerima dari
kaisar hadiah2 yang jauh lebih berharga sebagai tanda penghargaan.
Negara2 lain yang lemah mengakui kaisar Tiongkok karena sebagai
imbalannya mendapat perlindungan terhadap gangguan2 dari luar.
Dalam arsip Tiongkok tercatat bahwa pada thn. 1376 ketika dinasti
Yuan (Monggol) sudah digantikan oleh dinasti Ming (1368-1644) raja
Tan-ma-sa-na-ho wafat. Tidak jelas apa nama aslinya, tetapi kawasan yang
dipersoalkan menyangkut tanah bekas Sriwijaya. Raja yang wafat
digantikan oleh puteranya yang disebut sebagai Ma-la-cha Wu Li. Menurut
Groeneveldt mungkin putera tsb. adalah Maharadja Wuli, tetapi menurut
Slamet Muljana dia ini Maharadja Mauliwarmadewa. Tahun berikutnya
maharaja mengirim upeti kepada kaisar Tiongkok berupa barang2 dan
binatang2 chas dalam negeri. Utusan2nya menyampaikan pesanan bahwa
putera tsb segan naik tahta atas wewenang sendiri serta mohon mendapat
ijin kaisar (dengan maksud mendapat perlindungannya). Kaisar memuji
perasaan tanggungjawab maharaja dan memberi perintah untuk menyampaikan
segel (cap, seal) kepadanya disertai pengangkatan dia sebagai raja
San-bo-tsai (Sriwijaya). Namun pada waktu itu Sriwijaya sudah dibawah
kekuasaan Jawa (Majapahit). Raja Majapahit sangat murka mendengar kaisar
telah menunjuk raja untuk San-bo-tsai dan mengirim anak buahnya untuk
mencegat dan membunuh utusan kaisar. Kaisar dapat mengerti kemurkaan
raja Majapahit dan tidak mengadakan pembalasan. Setelah kejadian ini
lambat-laun San-bo-tsai/Sriwijaya jatuh miskin dan tidak datang lagi
upeti dari kawasan itu. Catatan tsb sesuai dengan kenyataan bahwa bekas
Sriwijaya terlantar dan kacau. Keguncangan Singasari-Kediri dan belum
terkonsolidasinya Majapahit menyebabkan pihak Jawa tidak mampu mengurus
tanah Sriwijaya yang tadinya ditaklukkan oleh Kertanagara.
Tentang perang saudara Paregreg di Majapahit tercatat bahwa dalam
thn. 1405 sida-sida (eunuch) Laksamana Cheng Ho telah diutus ke
Majapahit yang dewasa itu dikuasai oleh dua raja, Raja Timur dan Raja
Barat. Tahun berikutnya kedua raja saling berperang. Raja Timur
dikalahkan dan kerajaannya hancur. Pada itu waktu utusan2 kaisar
kebetulan berada di negara Raja Timur. Ketika prajurit2 Raja Barat masuk
ke tempat pasar, 170 orang dari utusan kaisar terbunuh, hal mana
membuat Raja Barat kuatir serta mengirim utusan minta maaf. Kaisar
mengeluarkan pengumuman sangat mencela Raja Barat dan menuntut
pembayaran enam-puluh ribu tail mas sebagai denda. Tahun 1408 Cheng Ho
sekali lagi diutus ke negara ini dan Raja Barat memberi sepuluh ribu
tail mas. Petugas2 Dewan Tatacara di Tiongkok melihat jumlah tidak cukup
dan bermaksud mempenjara utusan2 yang membawanya, tetapi kaisar
mengatakan: “Yang saya kehendaki dari orang2 yang hidup dijauhan yalah
mereka menginsyafi kesalahannya. Saya tidak ingin memperkaya diri dengan
masnya.” Seluruh denda dikembalikan. Sedari itu mereka terus-menerus
membawa upeti. Terkadang sekali dalam dua tahun, ada kalanya lebih dari
satu kali setahunnya. Para utusan Wu Pin dan Cheng Ho seringkali
mengunjungi Majapahit.
Lit.:
– Morris Rossabi “Khubilai Khan, his life and times” hal. xi, 220, 227, 228.
– Slamet Muljana “A story of Majapahit” hal. 10, 34, 35, 43, 49, 50, 71-3, 82, 88, 146, 182, 240.
– W.P. Groeneveldt “Notes on the Malay Archipelago and Malacca” hal. 36, 37, 69, 123.
– V.Purcell “The Chinese in Southeast Asia” hal. xxvii, 122.
Demak, Banten,Cirebon Pada dasawarsa2 terachir abad ke 15 di Jawa
Tengah telah didirikan kerajaan Islam Demak yang berlangsung dari
1475/1478 hingga 1546/1568. Pendirinya adalah puteranya Cek Ko-Po dan
berasal Palembang dimana ketika itu terdapat masyarakat Islam Tionghoa
yang besar. Dia terkenal dengan nama Raden Patah (AL Fatah), alias Jin
Bun / Panembahan Jimbun / Arya (Cu-Cu) Sumangsang / Prabu Anom. Orang2
Portugis menyebutnya Pate Rodin Sr. Menurut orang Portugis Tome Pires,
dia seorang “persona de grande syso”, a man of great power of judgement,
seorang satria (cavaleiro, a knight, a nobleman). Terkaan bahwa Jimbun
nama suatu tempat dekat Demak tidak masuk akal. Penjelasan prof. Muljana
nama Jin Bun berarti “orang kuat” dalam dialek Tionghoa-Yunnan. Semasa
dynasti Yuan (Monggol) di propinsi Yunnan terdapat banyak penganut agama
Islam.
Kalangan berkuasa Demak sebagian besar terdiri dari orang2 keturunan
Tionghoa. Sebelum jaman kolonial pernikahan antara orang Tionghoa dengan
orang Pribumi merupakan hal yang normal. Dr. Pigeaud dan Dr. de Graaf
telah menggambarkan keadaan pada abad ke 16 sbb.: di kota2 pelabuhan
pulau Jawa kalangan berkuasa terdiri dari keluarga2 campuran, kebanyakan
Tionghoa peranakan Jawa dan Indo-Jawa. Sumber2 sejarah pihak Pribumi
Indonesia menyebut, dalam abad ke 16 sejumlah besar orang Tionghoa hidup
di kota2 pantai Utara Jawa. Disamping Demak, juga di Cirebon, Lasem,
Tuban, Gresik (Tse Tsun) dan Surabaya. Banyak orang Tionghoa Islam
mempunyai nama Jawa dan dengan sendirinya juga nama Arab. Pada jaman itu
sebagai Muslimin mempunyai nama Arab meninggihkan gengsi.
Salah satu cucunya Raden Patah tercatat mempunyai cita2 untuk
menyamai Sultan Turki. Menurut De Graaf dan Pigeaud, Sunan Prawata (Muk
Ming) raja Demak terachir yang mengatakan pada Manuel Pinto, dia
berjuang sekeras2nya untuk meng-Islamkan seluruh Jawa. Bila berhasil dia
akan menjadi “segundo Turco” (seorang Sultan Turki ke II) setanding
sultan Turki Suleiman I dengan kemegahannya. Nampaknya dia telah
mengunjungi Turki.
Sumber2 Pribumi menegaskan raja-raja Kerajaan Demak orang Tionghoa
atau Tionghoa peranakan Jawa. Terlalu banyak untuk memuat semua nama2
tokoh sejarah yang di-identifikasi sebagai orang Tionghoa. Diantaranya
Raden Kusen (Kin San, adik tiri Raden Patah), Sunan Bonang (Bong Ang,
putera Sunan Ngampel alias Bong Swee Ho), Sunan Derajat juga putera
Sunan Ngampel, Sunan Kalijaga (Gan Si Chang), Ja Tik Su (tidak jelas dia
Sunan Undung atau Sunan Kudus. Ada sumber mengatakan Sunan Undung ayah
Sunan Kudus dan menantunya Sunan Ngampel), Endroseno, panglima terachir
tentara Sunan Giri, Pangeran Hadiri alias Sunan Mantingan suami Ratu
Kalinyamat, Ki Rakim, Nyai Gede Pinatih (ibu angkatnya Sunan Giri dan
keturunannya Shih Chin Ching tuan besar (overlord) orang Tionghoa di
Palembang), Puteri Ong Tien Nio yang menurut tradisi adalah isterinya
Sunan Gunung Jati, Cekong Mas (dari keluarga Han, makamnya terletak di
dalam suatu langgar di Prajekan dekat Situbondo Jawa Timur dan dipandang
suci), Adipati Astrawijaya, bupati yang diangkat oleh VOC Belanda
tetapi memihak pemberontak ketika orang2 Tionghoa di Semarang berontak
melawan Belanda pada thn. 1741 dan Raden Tumenggung Secodiningrat
Yokyakarta (Baba Jim Sing alias Tan Jin Sing). Menurut prof. Muljana,
Sunan Giri dari pihak ayahnya adalah cucu dari Bong Tak Keng, seorang
Muslim asal Yunnan Tiongkok yang terkenal sebagai Raja Champa, suatu
daerah yang kini menjadi bagian Vietnam. Bong Tak Keng koordinator
Tionghoa Perantauan di Asia Tenggara. Ayah ibunya Sunan Giri adalah Raja
Blambangan, Jawa Timur. Giri nama bukit di Gresik.
Pengaruh arsitektur Tionghoa terlihat pada bentuk mesjid2 di Jawa
terutama di daerah2 pesisir bagian Utara. Agama Islam yang pertama masuk
di Sumatera Selatan dan di Jawa mazhab (sekte) Hanafi. Datangnya
melalui Yunnan Tiongkok pada waktu dynasti Yuan dan permulaan dynasti
Ming. Prof. Muljana berpendapat bila agama Islam di pantai Utara Jawa
masuknya dari Malaka atau Sumatera Timur, mazhabnya Syafi’i dan/atau
Syi’ite dan ini bukan demikian halnya. Dia menekankan mazhab Hanafi
hingga abad ke 13 hanya dikenal di Central Asia, India Utara dan Turki.
Meskipun agama Islam pada abad ke 8 sudah tercatat di Tiongkok, Mazhab
Hanafi baru masuk Tiongkok jaman dynasti Yuan abad ke 13, setelah
Central Asia dikuasai Jengiz Khan.
Kepergian banyak Muslim Tionghoa (exodus) dari Tiongkok terjadi pada
thn.1385 ketika diusir dari kota Canton. Jauh sebelum itu, Champa sudah
diduduki Nasaruddin jendral Muslim dari Kublai Khan. Jendral Nasaruddin
diduga telah mendatangkan agama Islam ke Cochin China. Sejumlah pusat
Muslim Tionghoa didirikan di Champa, Palembang dan Jawa Timur.
Ketika pada thn.1413 Ma Huan mengunjungi Pulau Jawa dengan Laksamana
Cheng Ho, dia mencatat agama Islam terutama agamanya orang Tionghoa dan
orang Ta-shi (menurut prof. Muljana orang2 Arab). Belum ada Muslimin
Pribumi. Pada thn.1513-1514 Tome Pires mengambarkan kota Gresik sebagai
kota makmur dikuasai oleh orang2 Muslim asal luar Jawa. Pada thn. 1451
Ngampel Denta didirikan oleh Bong Swee Ho alias Sunan Ngampel untuk
menyebarkan agama Islam mazhab Hanafi di antara orang2 Pribumi. Sebelum
itu dia mempunyai pusat Muslim Tionghoa di Bangil. Pusat ini ditutup
setelah bantuan dari Tiongkok berhenti karena tahun 1430 hingga 1567
berlaku maklumat kaisar melarang orang2 Tionghoa untuk meninggalkan
Tiongkok.
Sangat menarik perhatian karena saya alami sendiri, setidak2nya
hingga jaman pendudukan Jepang, rakyat kota Malang Jawa Timur masih
mempergunakan sebutan “Kyai” untuk seorang lelaki Tionghoa Totok. Kyai
berarti guru agama Islam. Padahal yang dijuluki itu bukan orang Islam.
Kebiasaan tsb peninggalan jaman dulu. Gelar Sunan berasal dari perkataan
dialek Tionghoa Hokkian “Suhu, Saihu”. 8 Orang Wali Songo mazhab Hanafi
bergelar Sunan. Satu dari Wali Songo mazhab Syi’ite bergelar Syeh dari
bahasa Arab Sheik.
Kesimpulan wajar, para aktivis Islam mazhab Hanafi di Asia Tenggara
semasa itu semuanya orang Tionghoa. Sedikit banyak dapat dipersamakan
dengan penyebaran agama Kristen dari Eropa ke lain-lain benua. Hingga
abad ke 19 kaum penyebar diatas tingkat lokal dapat dikatakan semuanya
orang Eropa. Tanah Tiongkok hampir seluas Eropa. Membuat perbandingan
dengan Tiongkok tidak dapat dilakukan dengan salah satu negara Eropa
tetapi harus dengan seluruh Eropa. Seperti juga suku2 Eropa dengan
bahasa2nya berbeda satu sama lain, demikian pula terdapat perbedaan
antara suku2 dengan bahasa2nya di Tiongkok. Keunggulan Tiongkok memiliki
tulisan ideogram yang dapat dimengerti meskipun bahasanya berlainan.
Lit.:
– De Graaf and Pigeaud “De eerste Moslimse Vorstendommen op Java”, “Islamic states in Java 1500-1700″.
– Amen Budiman “Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia”.
– Slametmuljana (dalam buku bahasa Inggris ini, nama penulisnya disambung menjadi satu) “A story of Majapahit”.
– Slamet Muljana “Runtuhnya keradjaan Hindu Djawa dan timbulnja negara2 Islam di Nusantara”.
– Jan Edel “Hikajat Hasanoeddin”.
Kerajaan Islam Demak runtuh disebabkan perang saudara antara cucu2nya Jin Bun (Raden Patah).
Raja2 Demak adalah:
Jin Bun alias Al-Fatah (Raden Patah) 1478 – 1518
Yat Sun alias Adipati Yunus 1518 – 1521
Tung Ka Lo alias Trenggana 1521 – 1546
Muk Ming alias Sunan Prawata 1546 – 1546
Muk Ming dikalahkan dan terbunuh oleh Arya Penangsang Jipang, seorang
cucu lain dari Raden Patah. Penangsang Jipang sendiri kemudian dibunuh
oleh iparnya Muk Ming. Kerajaan Islam Demak tiada lagi karena ipar tsb
mempunyai negara sendiri di Pajang di pedalaman Jawa Tengah dan
merupakan orang Islam mazhab Shi’ite, bukan mazhab Hanafi.
Angkatan Laut Demak dua kali dengan sia2 menyerang kekuatan Portugis di Malaka dan satu kali di Maluku.
Namun pada tahun 1526-1527 Sunan Gunung Jati alias Fatahillah / Toh A
Bo / Pangeran Timur, panglima kerajaan Demak, merebut Sunda Kalapa dan
berhasil mengusir orang Portugis yang datang dengan maksud membangun
benteng. Nama Sunda Kalapa oleh dia diganti menjadi Jayakarta. Prof.
Djajadiningrat menterjemahkan arti Jayakarta sebagai “kemenangan yang
tercapai” (volbrachte zege, achieved victory). Dr. de Graaf menyebut
adanya laporan sejarawan Portugis bernama de Couto yang mengatakan pada
tahun 1564 the martial king of Aceh Ala’ad-Din Shah telah minta pada
“Raja Demak, Kaisar Jawa” (o Rey de Dama, Imperador do Jaoa) untuk
membantu ekspedisinya menghadapi orang Portugis di Malaka. Nampaknya 18
tahun setelah runtuhnya kerajaan Demak, di tempat tsb masih terdapat
kekuasaan yang oleh the mighty king of Aceh dipandang cukup berkuasa
untuk diajak bersekutuan. Pada tahun 1574, jauh setelah kerajaan Demak
tiada lagi, Ratu Kalinyamat dari Japara, cucu perempuan Raden Patah,
masih merasa cukup kuat untuk mengirim kapal2 perang menyerang orang
Portugis di Malaka.
Setelah merebut Sunda Kalapa, Sunan Gunung Jati menjadi Sultan Banten
dan membentuk masyarakat Islam disana. Kesultanan Banten kemudian dia
serahkan kepada Hasanuddin, puteranya, dan yang belakangan ini oleh
tradisi Jawa dipandang sebagai raja Banten yang pertama. Pada tahun 1552
Sunan Gunung Jati datang ke masyarakat Muslim Tionghoa di Cirebon. Dia
kecewa dengan adanya saling bunuh-membunuh antara cucu2nya Raden Patah.
Sunan Gung Jati mengabulkan permintaan Haji Tan Eng Hoat alias Maulana
Ifdil Hanafi untuk mendirikan kesultanan di Cirebon seperti Demak dulu.
Sebagai orang yang sudah berumur lanjut dia menjadi sultan Cirebon yang
pertama, menikah dengan puterinya Haji Tan Eng Hoat dan putera mereka
menjadi Sultan Cirebon yang ke II.
Orang membayangkan bagaimana jalannya sejarah dunia bila kaisar
Tiongkok T’ai-tsu tidak kehilangan perhatian terhadap dunia luar. Antara
1430 dan 1567 orang Tionghoa dilarang meninggalkan tanah leluhurnya.
Angkatan Laut Tiongkok yang canggih dengan teknologi yang jauh lebih
tinggi tingkatnya daripada kapal2 Eropa, diterlantarkan. Tahun 1431
yaitu 61 tahun sebelumnya Columbus, kapal-utama Laksamana Cheng Ho
berukuran 140 meter, sedangkan panjangnya kapal Columbus hanya 30 meter.
Peninggalan2 yang diketemukan menunjukkan Australia dan Amerika Latin
telah dikunjungi oleh pelaut2 Tionghoa. Adanya angin2 Timur serta arus2
Pacific dewasa itu jelas sudah diketahui orang Tionghoa. Kapal2 Tiongkok
mempergunakan watertight bulkheads sedari abad ke 2 Masehi (2nd century
AD). Prinsip tsb baru dikenal di Eropa sekitar tahun 1800, seribu enam
ratus tahun kemudian. Seumpamakata armada Cheng Ho tidak dipereteli dan
terjadi konfrontasi dengan kapal2 perang Eropa, Tiongkok tidak akan
tertidur, tidak akan kepergok dalam keadaan lemah. Dengan perang-candu
(1839 – 1842) Inggris memaksa Tiongkok untuk mengijinkan impor candu
yang telah menghancurkan tenaga rakyat secara besar2an. Selama satu abad
setelah perang-candu, Tiongkok hampir ambruk diserang Inggris, Jerman,
Perancis, Jepang dll negara yang sedang jaya.
Dr. Kwee Swan Liat mengutip sejarawan Inggris Joseph Needham sbb.:
Ilmu pengetahuan modern berdiri atas dasar teknologi abad pertengahan
yang sebagian besar bukan asal Eropa. Selama abad ke 1 hingga abad ke 14
Masehi, Tiongkok telah membanjiri Eropa dengan penemuan2, tanpa Eropa
mengetahui dari mana asalnya. Teknik2 numerational dan computational,
pengetahuan dasar magnetical phenomena, efficient equine harness,
teknologi besi dan baja, penemuan bahan peledak dan kertas, lonceng
mekanik, driving belt, chain-drive, cara standard converting rotary to
rectilinear motion, segmental arch bridges, nautical techniques seperti
stern-post rudder, imunisasi, inokulasi dsb. Semua ini mengakibatkan
kegemparan di dunia Barat. William Harvey sebelum tahun 1616 telah
menemukan adanya aliran darah dalam tubuh manusia. Hal itu di Tiongkok
sudah dikenal lima ratus tahun duluan.
Pada tahun 1574 Lim Ah Hong, seorang yang berada diluar perlindungan
hukum (an outlaw) mengepung benteng Spanyol di Pilipina serta nyaris
merebut Manila. Kemampuan seorang outlaw Tionghoa untuk mengguncangkan
kekuasaan Spanyol di Asia, membuat gubernur Spanyol mengingini hubungan
baik dengan kaisar Tiongkok. Tahun 1661 Koxinga mengalahkan Belanda di
Taiwan. Satu tahun kemudian dia mengirim ultimatum kepada penguasa
Spanyol di Pilipina untuk menyerah kepadanya atau dihancurkan. Sayang
tahun itu juga, ketika orang2 Spanyol sedang panik memperkuat benteng2
pertahanannya, datang berita Koxinga meninggal dunia.
Lain dari apa yang diajarkan di sekolah2 Belanda, penemuan bahan
peledak di Tiongkok tidak hanya dipergunakan untuk mercon saja. Sedari
permulaan, bahan peledak dipergunakan untuk keperluan2 militer. Pada
dynasti T’ang (618-907) bahan peledak “nitre” dan alkimia Tionghoa
dikenal orang2 Arab dan Persia sebagai “salju Tionghoa” dan “garam
Tionghoa”. Abad ke 13 bahan peledak Tionghoa mulai dikenal Eropa melalui
orang Arab yang masa itu berkuasa di Spanyol. Buku2 Arab jaman itu
mencatat “botol2 besi” yang dipergunakan oleh tentara Monggol dalam abad
ke 13. Pihak Arab memperoleh bermacam2 senjata api lewat orang Monggol.
Antara lain senapan2 sederhana dan senapan petir. Tidak lama kemudian
orang Arab dapat membuatnya sendiri. Senjata dan roket Arab “Qidan”
berdasarkan model2 Tionghoa. Dewasa itu Tiongkok di Eropa terkenal
sebagai Qidan. Baru tahun 1326 Inggris, Perancis dan lain negara2 Eropa
untuk pertama kalinya membuat alat2 perang yang berasal Tiongkok ini.
Senjata-api “blunderbus” yang dipergunakan di Eropa sekitar permulaan
abad ke 14 asal-usulnya di Tiongkok.
Lit.:
– Zhou Jiahua “The history of gunpowder and weapons in China”
– Catalogue D/1988/2111/06 exhibition “China Heaven and Earth. 5000
Years inventions and discoveries” Brussels Sept 88 – Jan 89. Institute
K.U. Leuven.
Kalimantan-Barat Pada dasarnya Indonesia terdiri dari bagian2 yang
dahulu mempunyai kedaulatan sendiri2 seperti kerajaan, kesultanan dsb.
Dalam abad ke 18 dan abad ke 19 di Kalimantan-Barat selain
kerajaan/kesultanan terdapat juga sejumlah negara republik. Berapa
jumlah semuanya tidak jelas. Saya sebut 3 yang paling besar. Republik
Thai Kong dengan tentara 10.000 orang, Republik Lan Fong 6.000 orang dan
Lara Sin-Ta-Kiou 5.000 orang. Masing2 negara republik tsb terdiri dari
suku2 tertentu. Hubungannya satu sama lain sedemikian rupa hingga mudah
diadu-domba oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah perang melawan
Belanda dengan pertumpahan darah yang besar pada tahun 1854 hanya
tinggal satu Republik Lan Fong yang achirnya berdiri 107 tahun. Meskipun
thn. 1884 Belanda berhasil menghancurkannya, daerah tsb baru thn. 1912
berhasil diamankan. Sisa pusat perlawanan Lan Fong pertama-tama
menyingkir ke Sarawak. Disana mereka terkenal dibawah bendera Sam Tiam
Hui.
107 Tahun Republik Lan Fong lebih lama daripada negara persatuan
Jerman bentukan Bismarck, yang setelah kira-kira 75 tahun pecah menjadi
Jerman Timur dan Barat. Ditambah 12-13 tahun setelah dipersatukan lagi
juga belum 100 tahun. Belgia terbentuk tahun 1830 hingga kini 173 tahun
dan dengan demikian berumur kurang daripada self-government orang2
Tionghoa di Palembang yang menurut Victor Purcell berlangsung selama 200
tahun.
Pejabat pemerintah Belanda Dr. J.J.M. de Groot fasih bahasa Tionghoa
adalah saksi-mata Republik Lan Fong. Buku de Groot “Het Kongsiwezen van
Borneo” terbit thn.1885 mengandung keterangan yang berharga. Dia
berkesempatan meninjau keadaan dari kedua belah pihak. Kami kutib
tentang “… (sebutan de Groot) kongsi2 atau republik2 Tionghoa yang
dahulunya ada di Kalimantan Barat…” sbb.:
Tahun 1885 ini pun (setahun setelah Lanfong hancur) tentara Belanda
masih menghadapi perlawanan. Orang2 Lan Fong inilah yang tadinya
mengolah pertambangan mas di Kalimantan hingga daerah ini menjadi makmur
seperti belum pernah terjadi disini. Ketika thaiko Lo Fong-phak
mendirikan Kongsi Lan Fong di Mandor pada tahun 1777, belum ada
pemerintahan yang menguasai daerah tsb. Maka semua hukum dan undang2
yang berlaku disitu dia yang menyusunnya. De Groot sangat kagum sejumlah
pendatang campur-aduk yang berasal dari kaum petani biasa di Tiongkok
mampu mendirikan negara dengan organisasi yang rapih dan terpimpin
dimana berlaku hukum, ketertipan dan disiplin. Mereka memiliki
perundang2an serta sistem keuangan sendiri. Negara2 republik tsb perang
satu sama lain dan perang dengan raja2 Melayu. Perundingan2 dengan
pemerintah Belanda yang jauh lebih kuat, telah mereka lakukan dalam
tingkat sederajat. Dari manakah semangat republik dan demokratis yang
besar itu, sedangkan orang2 Barat selalu mengira kekuasaan di Tiongkok
bersifat absolutis? De Groot telah mempelajari keadaan di Tiongkok dan
berkesimpulan semua ini adalah warisan adat-istiadat dan sistem
kebijaksanaan dari negara leluhur. De Groot menamakan mereka “… a free
people, keen on its self established republican independency…”.
Komisaris pemerintah kolonial Willer dalam tulisannya yang berjudul
“Kronijk (chronicle) van Mampawa en Pontianak” menyebut Lanfong
“republik konstitusional dibawah kekuasaan tritunggal (triumvirate)”.
Kehancurannya negara2 republik di Kalbar telah mendatangkan
kemiskinan di daerah ini yang luasnya lebih dari empat kali negeri
Belanda… De Groot mengecam pemerintah Belanda karena tidak pernah
berusaha untuk betul2 mengenal orang Tionghoa. Dia berpendapat tidak ada
golongan lain yang lebih banyak mengalami fitnahan di daerah penjajahan
Belanda daripada golongan Tionghoa. De Groot bertindak sebagai juru
bahasa. Semua hal antara pihak Belanda dan pihak pimpinan Tionghoa
melalui tangannya dan dia mengenal pemimpin2 kongsi dengan baik. De
Groot telah mengumpulkan sebanyak mungkin dokumentasi karena mengetahui
Belanda akan menyerang dan orang2 Tionghoa tidak akan menyerah tanpa
perlawanan. Dokumen2 negara2 republik yang lain musna dalam peperangan
yang sudah2.
Sama-rata Van Rees seorang Belanda lain yang banyak mengetahui
tentang negara2 republik suku Tionghoa tsb., telah memberi kesaksian
tentang pergaulan sama rata di republik2 itu. Orang yang berpangkat
paling tinggi duduk berdampingan dengan kuli yang paling miskin. Menurut
van Rees di dalam penghidupan sehari-hari orang Tionghoa tidak
mempersoalkan tingkat dan pangkat. Penguasa sipil Sambas bernama Muller
dan seorang pejabat Belanda bernama Veth juga menyaksikan hubungan
sama-rata. De Groot selanjutnya: “orang yang terendah pun setiap waktu
dapat menghubungi pimpinan termasuk kapthai sendiri. Tiada pemimpin yang
merasa tersinggung bila seorang dari rakyat-biasa memasuki ruang
kerjanya untuk membicarakan urusan2 kecil. Bila bertemu dipersimpangan
jalan, pemimpin dan rakyat-biasa saling menyambut dengan ramah…. Pada
umumnya sama dengan sifat orang2 Tionghoa yang datang ke jajahan
Belanda…. Di Jawa disatu pihak pendatang baru dari Fukien dengan mudah
dikuasai oleh pemuka2nya, tetapi dilain pihak menunjukkan kemerdekaan
yang bertaraf tinggi tanpa sikap resmi dan hormat yang berlebihan. Pihak
pemimpin cukup bijaksana tidak menuntut kehormatan yang lebih besar.
Mereka mengetahui para bawahannya itu orang2 yang teresap dengan ajaran
“hao” dan akan cukup mengindahkan pemimpinnya.”
Saksi2-mata tsb juga kagum tenaga kerja orang2 Tionghoa. Hutan
ditebang dan tanah yang tidak begitu subur dijadikan sawah, kebun gula
dan kebun buah2an. Dikatakan tiada suku lain di dunia dalam keadaan yang
sama dapat mewujudkannya. Bekerja dibawah terik panas matahari daerah
khattulistiwa dari subuh hingga matahari terbenam, dipersukar oleh
kekuasaan Belanda, tanpa perlindungan dari pemerintah tanah leluhur,
tanpa modal, hanya dengan kecerdikan dan semangat-berusaha (spirit of
enterprise). Menjalin hubungan keluarga dengan pihak Pribumi melalui
pernikahan, secara umum terjadi sedari permulaan. Mendirikan sekolahan2
merupakan salah satu usaha yang utama, sekalipun didesa-desa yang kecil.
Di antarakaum Tionghoa sukar dijumpai orang yang buta-huruf. Mereka
disukai penduduk Pribumi sebagai tenaga yang berharga. Tidak seperti
pihak Belanda yang dimana-mana datang dengan kapal perang, serdadu dan
senapan. Dengan suku Dayak Batang-lupar dan Punan yang ditakuti sebagai
pengayau (penggorok kepala) pun orang2 Tionghoa dapat memelihara
hubungan yang baik. Sedangkan tidak ada orang Eropa yang berani
berhadapan dengan suku2 tsb tanpa pengawal yang kuat. Demikianlah
kesaksian pejabat-pejabat Belanda jaman itu.
Permulaan tahun 1960-an operasi chusus (Opsus) tentara telah
melancarkan intrik penghasutan orang Dayak di pedalaman Kalimantan-Barat
terhadap orang Tionghoa. Puluhan ribu orang Tionghoa dikejar-kejar,
menjadi pengungsi di kota-kota pantai dalam keadaan payah. Banyak yang
tewas. Dasar pikiran yang menelorkan operasi tsb menyalahi cita2
nation-building serta merugikan nusa dan bangsa Indonesia. Adanya
sejarah negara Thai Kong, Lan Fong dll., pada hakekatnya tidak beda
misalnya dengan adanya negara Demak yang didirikan Jin Bun alias Raden
Patah. Seperti dijelaskan diatas, negara Indonesia memangnya terdiri
dari banyak bagian yang dulunya mempunyai kedaulatan sendiri. Operasi
chusus tetap dilancarkan di Kalimantan-Barat karena penduduk didaerah
yang bersangkutan keturunan Tionghoa, meskipun mereka warganegara
Indonesia. Diskriminasi terhadap ket.Tionghoa adalah warisan politik
adu-domba kolonial Belanda. Thailand yang tidak mengalami penjajahan
telah menyerap orang2 Tionghoa tanpa banyak persoalan. Apalagi bagi
orang2 yang pandai. Bekas Perdana Menteri Chuan Leek Pai dan banyak
orang terkemuka lain serta tidak sedikit anggauta keluarga raja adalah
keturunan Tionghoa yang sudah 100% menjadi orang Thai. Sebelum jaman
kolonial orang2 Tionghoa di Indonesia juga dengan sendirinya terserap
secara wajar. Orang2 keturunan Tionghoa seperti Raden Patah dan
Endroseno hingga Cekong Mas (yang kuburannya suci dan terletak di dalam
suatu langgar di Prajekan dekat Situbondo Jawa Timur), semuanya telah
terserap 100% oleh pihak Pribumi Indonesia dimasa sebelum penjajahan.